Pengabdian sudah pada ujung jalan.
Kami ingin pulang ke mama kota, tapi urung.
Kami mengenapkan rencana; hari terakhir pulangnya.
Rembulan bersinar terang ditemani bintang-bintang.
Langit seakan bersorai ria.
Hm, apakah malam ini lebih baik dari seribu bulan?
Pukul sembilan kami menuju pasar dekat desa.
Di sana ada pasar malam sebelum hari raya.
Syukurlah, harga-harga disini masih terbilang standar,
tidak seperti di mama kota yang melonjak ke atas.
Kami bersembilan. Empat lelaki dan sisanya perempuan.
Kami banyak bercakap selama perjalanan. Obrolan hangat ala-ala anak pada usianya.
Luar biasa! di sini juga ada hiburan; komidi putar, walaupun tak sekelas dufan.
Biang lala setinggi puluhan meter berdiri gagah, berputar perlahan.
Saat kau sampai di atasnya, kau akan melihat keindahan desa saat malam.
Ini kesempatan, bukan?
Aku mengajaknya naik biang lala. Tidak, dia tidak ingin berdua. Kami berempat.
Mesin mulai terdengar, kami mulai bergerak perlahan, menuju puncak. Tap!
Sampai di puncaknya, mesin berhenti. Bukan, bukan rusak. Aku sudah berbisik pada penjaga untuk diberhentikan di puncak.
Sekian menit, kami menikmati keindahan desa dari ketinggian puluhan meter.
Ah, ketika yang lain melirik ke bawah dan ke depan berfokus pada pemandangan desa kala malam. Aku kalap menyaksikan binar matamu.
Mesin kembali berbunyi, bergerak perlahan untuk turun. Kaki kami menyatu lagi dengan bumi.
Umurku sudah dua lima, apakah malam ini aku ungkapkan saja?
Aku mulai mencari kesempatan dimana aku bisa mengutarakan. Dewi fortuna seakan mengamini. Kau duduk sendiri di bangku taman, menatap takzim indahnya rembulan. Aku mulai mendekat.
'Apa aku boleh duduk?', kutatap matamu dengan sungguh. Kau hanya mengangguk.
Kami berdua terdiam beberapa saat. Hanya suara ramai manusia di pasar malam, mesin komidi dan karaoke di ujung pasar malam. Keringat mulai muncul di dahiku. Aku mulai menyusun kata-kata terbaik. Agar pas sampai ke hati. Ah, sial, tak lama sahabat karibnya datang. Kami jadi duduk bertiga. Aku urung menyatakan.
Kami berkumpul di tukang es capcin. Dengan belanjaan masing-masing yang sudah di tangan. Sudah pukul setengah sebelas malam. Kami semua harus segera kembali.
Aku masuk ke kamar dan menyesali setiap menit yang terbuang tadi. Meski begitu, pantang mundur kapal yang sudah masuk lautan. Walau hancur itu akan selalu dikenang.
Aku tidur dengan damai, semoga besok Tuhan memberi kesempatan rasa ini terungkapkan. Amin.
Komentar
Posting Komentar