Hujan kini mengguyur ibu kota yang kian terasa akan sepi, di sebuah jalan setapak yang mengarah ke gang buntu terlihat seorang gadis yang sedang berjalan tertatih-tatih, terlihat diraut wajahnya yang samar tertutup akan derasnya hujan dia tampak menahan tangis. Tanpa ia sadari diujung gang berdiri seorang laki-laki yang menatap dirinya dengan tatapan berbeda namun diujung tangannya terlihat sebuah payung hitam yang masih belum tertutup rapat. "Kau akan sakit jika masih berjalan dibawah hujan sederas ini Ara," ujar laki-laki tadi dengan suara yang sedikit dikeraskan, tanpa sadar membuat gadis tadi terpaku dibawah hujan yang kian membasahi tubuh gadis tadi. "K-kau?! Tidak usah peduli kepadaku, apa mau mu sebenarnya Darka? Kenapa?" ucap gadis tadi yang dipanggil Ara dengan raut wajah yang kini terlihat akan marah, percikkan matanya terlihat meredup namun nada suaranya terdengar tegas walaupun getar akan ketakutan atau mungkin karena hujan yang lebat ini. "Aku tid...
Pengabdian sudah pada ujung jalan. Kami ingin pulang ke mama kota, tapi urung. Kami mengenapkan rencana; hari terakhir pulangnya. Rembulan bersinar terang ditemani bintang-bintang. Langit seakan bersorai ria. Hm, apakah malam ini lebih baik dari seribu bulan? Pukul sembilan kami menuju pasar dekat desa. Di sana ada pasar malam sebelum hari raya. Syukurlah, harga-harga disini masih terbilang standar, tidak seperti di mama kota yang melonjak ke atas. Kami bersembilan. Empat lelaki dan sisanya perempuan. Kami banyak bercakap selama perjalanan. Obrolan hangat ala-ala anak pada usianya. Luar biasa! di sini juga ada hiburan; komidi putar, walaupun tak sekelas dufan. Biang lala setinggi puluhan meter berdiri gagah, berputar perlahan. Saat kau sampai di atasnya, kau akan melihat keindahan desa saat malam. Ini kesempatan, bukan? Aku mengajaknya naik biang lala. Tidak, dia tidak ingin berdua. Kami berempat. Mesin mulai terdengar, kami mulai bergerak perlahan, menuju puncak...